Dewa Hindu Yang Mempunyai Arti Sebagai Dewa Pelindung Adalah

Dewa Hindu Yang Mempunyai Arti Sebagai Dewa Pelindung Adalah

Dewa-Dewi Hindu: Dewa Hindu, Dewi Hindu, Kresna, Ganesa, Rama, Wisnu, Sri, Nara Dan Narayana, Indra, Gangga, Sukra, Dattatreya, Batara Kala

General Books, 2011 - 64 Seiten

Sumber: Wikipedia. Halaman: 62. Bab: Dewa Hindu, Dewi Hindu, Kresna, Ganesa, Rama, Wisnu, Sri, Nara dan Narayana, Indra, Gangga, Sukra, Dattatreya, Batara Kala, Saraswati, Brahma, Diti, Daftar Dewa-Dewi Hindu, Siwa, Surya Majapahit, Agni, Baruna, Saranya, Laksmi, Tapati, Budha, Kartikeya, Bhairawa, Yama, Dyaus Pita, Parwati, Kali, Durga, Bayu, Trimurti, Kuwera, Radha, Kamajaya, Aditya, Witoba, Sani, Wrehaspati, Candra, Dhanwantari, Hayagriwa, Aditi, Aswin, Khatushyamji, Daksayani, Pertiwi, Anggaraka, Sawitri, Jagatnata, Kamaratih, Rewanta, Antariksa. Kutipan: Kresna IAST: dibaca ]) adalah salah satu dewa yang dipuja oleh umat Hindu, berwujud pria berkulit gelap atau biru tua, memakai dhoti kuning dan mahkota yang dihiasi bulu merak. Dalam seni lukis dan arca, umumnya ia digambarkan sedang bermain seruling sambil berdiri dengan kaki yang ditekuk ke samping. Legenda Hindu dalam kitab Purana dan Mahabharata menyatakan bahwa ia adalah putra kedelapan Basudewa dan Dewaki, bangsawan dari kerajaan Surasena, kerajaan mitologis di India Utara. Secara umum, ia dipuja sebagai awatara (inkarnasi) Dewa Wisnu kedelapan di antara sepuluh awatara Wisnu. Dalam beberapa tradisi perguruan Hindu, misalnya Gaudiya Waisnawa, ia dianggap sebagai manifestasi dari kebenaran mutlak, atau perwujudan Tuhan itu sendiri, dan dalam tafsiran kitab-kitab yang mengatasnamakan Wisnu atau Kresna, misalnya Bhagawatapurana, ia dimuliakan sebagai Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa. Dalam Bhagawatapurana, ia digambarkan sebagai sosok penggembala muda yang mahir bermain seruling, sedangkan dalam wiracarita Mahabharata ia dikenal sebagai sosok pemimpin yang bijaksana, sakti, dan berwibawa. Selain itu ia dikenal pula sebagai tokoh yang memberikan ajaran filosofis, dan umat Hindu meyakini Bhagawadgita sebagai kitab yang memuat kotbah Kresna kepada Arjuna tentang ilmu rohani. Kisah-kisah mengenai Kresna muncul secara luas di berbagai ruang lingkup agama Hindu, baik dalam tradisi filosofis maupun teologis. B...

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Artikel ini merupakan daftar Dewa-Dewi dalam agama Hindu. Nama Dewa-Dewi telah diadaptasi dengan ejaan di Indonesia, seperti: Vishnu menjadi Wisnu; Shiva menjadi Siwa; Aśhvin menjadi Aswin. Karena mengalami adaptasi, beberapa nama Dewa atau Dewi yang diawali dengan huruf W mengalami perubahan menjadi huruf B, dan demikian juga sebaliknya. Beberapa Dewa memiliki nama lain (misalnya: Kumara = Kartikeya = Murugan) dan terasa seperti ada Dewa yang berbeda-beda, tetapi sebenarnya hanya ada satu. Semua nama tersebut dicantumkan dalam daftar ini namun Dewanya tetap satu.

Selain memuja Dewa-Dewi yang berwujud halus, beberapa sekte umat Hindu di India juga memuja makhluk dengan jiwa terberkati. Mereka bukan Dewa yang gaib, tetapi makhluk yang dekat hubungannya dengan Tuhan. Sebagian besar merupakan Awatara atau penitisan Brahman maupun manifestasinya.

Dewa-Dewi tersebut tercatat dalam daftar berikut ini.

Item is already in your registry

Artikel ini merupakan daftar Dewa-Dewi dalam agama Hindu. Nama Dewa-Dewi telah diadaptasi dengan ejaan di Indonesia, seperti: Vishnu menjadi Wisnu; Shiva menjadi Siwa; Aśhvin menjadi Aswin. Karena mengalami adaptasi, beberapa nama Dewa atau Dewi yang diawali dengan huruf W mengalami perubahan menjadi huruf B, dan demikian juga sebaliknya. Beberapa Dewa memiliki nama lain (misalnya: Kumara = Kartikeya = Murugan) dan terasa seperti ada Dewa yang berbeda-beda, tetapi sebenarnya hanya ada satu. Semua nama tersebut dicantumkan dalam daftar ini namun Dewanya tetap satu.

Selain memuja Dewa-Dewi yang berwujud halus, beberapa sekte umat Hindu di India juga memuja makhluk dengan jiwa terberkati. Mereka bukan Dewa yang gaib, tetapi makhluk yang dekat hubungannya dengan Tuhan. Sebagian besar merupakan Awatara atau penitisan Brahman maupun manifestasinya.

Dewa-Dewi tersebut tercatat dalam daftar berikut ini.

Saya sering berkata bahwa kebaikan dan kejahatan bergantung pada pikiran. Kebaikan merupakan hasil perbuatan manusia. Saat berbuat baik, berarti kita menciptakan berkah bagi dunia. Kejahatan juga merupakan hasil perbuatan manusia. Sebersit pikiran menyimpang dapat menyebabkan timbulnya niat buruk. Kejahatan bisa memicu bencana bagi dunia. Perbuatan manusia bisa mendatangkan bencana akibat ulah manusia.

Ketamakan, kebencian, dan kebodohan yang terus terakumulasi dalam keseharian juga bisa memicu ketidakselarasan empat unsur alam. Semua itu terjadi akibat perbuatan manusia. Karena itu, Buddha berulang kali datang ke dunia demi membimbing semua makhluk. Di mana pun Buddha membabarkan Dharma, pasti ada dewa yang melindungi tempat itu.

Di bagian pembuka setiap Sutra disebut bahwa para dewa dan  Delapan Kelompok Makhluk Pelindung Dharma akan menghadiri dan melindungi tempat persamuhan Dharma. Karena itu, kita harus bersungguh hati dan tulus karena di setiap tempat pelatihan terdapat dewa dan Makhluk Pelindung Dharma yang tak terhitung jumlahnya. Saya pernah berkata kepada kalian bahwa setiap kita memegang satu sila, maka akan ada lima dewa yang melindungi kita. Jika kita menaati lima sila, maka akan ada 25 dewa yang melindungi kita. Saya pernah berbagi kisah ini dengan kalian.

Ada seorang umat Buddha yang sangat tulus, gemar mendengar Dharma, dan menaati lima sila. Apa pun yang terjadi, dia selalu selamat dari bahaya. Dia sendiri juga merasa bahwa dirinya selalu terhindar dari bahaya. Dia lalu bertanya pada gurunya. Gurunya berkata padanya, “Karena kamu menaati lima sila, maka ada 25 dewa yang melindungimu.” Dia merasa sangat gembira dan puas. Dia berpikir, “Jika ada 25 dewa yang melindungi saya, apa lagi yang perlu saya takutkan?”

Sejak itu, dia mulai bersikap sombong dan tidak lagi rendah hati terhadap orang lain. Mulanya, dia sangat menghormati kehidupan dan menjalani pola hidup vegetaris, tetapi dia mulai berpikir, “Berhubung sudah memahami Dharma, maka tidak boleh melekat.” Demikianlah perlahan-lahan, nafsu makannya mulai bangkit. Dia mulai melanggar lima sila.

Suatu hari, usai makan, karena merasa lelah, dia pergi beristirahat sejenak. Saat tidur, dia mendengar suara, “Terhadap orang yang tidak menjaga kemurnian fisik dan batin, apakah kita akan terus melindunginya?” Setiap dewa pelindung berkata bahwa melihat sikapnya, mereka akan berhenti melindunginya. 25 dewa pelindung dari lima sila mengecam sikapnya dalam keseharian yang tidak bersungguh hati menaati sila. 25 dewa pelindung itu memutuskan untuk berhenti melindunginya.

Mereka semua pergi meninggalkannya. Dia seperti mendengar suara kecaman dan tahu bahwa itu adalah suara para dewa pelindung Dharma. Dia sangat ketakutan. “Benarkah semua dewa pelindung saya sudah pergi?” Dia kembali bertanya pada gurunya. Saat melihatnya, gurunya menggelengkan kepala dan menghela napas. “Sayang sekali.” “Apa yang disayangkan?” “Sayang sekali kamu tak lagi menaati lima sila.” “Bagaimana guru bisa tahu?” “Auramu sudah berbeda dengan dahulu. Energi pelatihan dirimu juga sudah hilang.” “Jadi, apa yang harus saya lakukan?” “Bertobatlah dan mulai dari awal.”

Meski ini hanya sebuah kisah, tetapi kita harus tahu bahwa dewa dan para Makhluk Pelindung Dharma hanya akan melindungi kita jika kita melatih diri. Kita harus membina kebajikan. Dengan membina kebajikan, baru kita akan memperoleh. Jika tidak melatih diri, maka kita tidak akan memperoleh manfaat dan memiliki kebajikan.

Karena itu, kita harus tekun dan bersemangat melatih diri. Kita harus tekun dan bersemangat untuk mendalami ajaran Buddha. Setelah itu, kita dapat kembali berbagi ajaran Buddha agar orang-orang dapat mendalami ajaran benar. Jika dapat demikian, maka setiap tempat merupakan ladang pelatihan.

Dewa dan para Makhluk Pelindung Dharma selalu ada di ladang pelatihan batin kita. Kita harus menaati sila dan melakukan tindakan nyata. Kehidupan di dunia tidak kekal. Segala sesuatu di dunia bersifat semu dan tidak nyata, hanya saja manusia telah terbuai oleh nafsu keinginan.

Nafsu keinginan duniawi, baik dari segi rupa, ketenaran, kekayaan, dan lain-lain, semuanya adalah yang paling menggoda, membuat orang sulit menenangkan hati, dan membuat orang sulit mempertahankan sila dan keteguhan pikiran. Ini karena nafsu keinginan sangat mudah menggoyahkan hati manusia. Tanpa tekad yang teguh, kita akan sangat cepat terpengaruh oleh nafsu keinginan. Nafsu keinginan dapat membuat kita merosot. Setelah menyadari hal ini, kita akan tahu bagaimana cara melindungi fisik dan batin kita agar tidak terpengaruh nafsu keinginan. Dengan demikian, Bodhisatwa akan muncul untuk membimbing kita.

Asalkan memiliki niat dan tekad, maka akan ada kekuatan untuk membantu kita menjaga kemurnian batin dan pikiran. Jadi, yang terpenting adalah kita harus menaati sila, membina berkah, serta mempraktikkan dana, sila, kesabaran, semangat, konsentrasi, dan kebijaksanaan. Dengan melatih semua itu, secara alami akan ada banyak dewa pelindung di sekitar kita.

Dewa (Dewanagari: देव; ,IAST: Deva, देव) adalah kata dari bahasa Sanskerta yang berarti "terang", "mulia", "makhluk surgawi", "makhluk ilahi", "hal yang cemerlang",[1] dan dapat mengacu kepada suatu golongan makhluk gaib dalam agama Hindu.[2] Dewa merupakan istilah maskulin; padanan feminin untuk istilah tersebut ialah Dewi. Kata tersebut sepadan dengan istilah Latin "Deus" dan Yunani "Zeus".

Dalam sastra Weda Kuno, seluruh makhluk gaib dapat disebut "dewa"[3][4][5] dan asura.[6][7] Konsep tersebut akhirnya mengalami perkembangan dalam kesusastraan India Kuno, dan pada akhir periode Weda, makhluk gaib yang baik disebut Dewa-asura. Dalam sastra Hindu pasca-periode Weda, seperti Purana dan Itihasa, para dewa merupakan makhluk baik, sedangkan asura makhluk jahat. Dalam sejumlah karya sastra India Abad Pertengahan, para dewa juga disebut sebagai "sura", dan sifatnya bertolak belakang dengan saudara tiri mereka yang sama-sama sakti, yang disebut sebagai "asura".[8]

Para dewa, demikian pula para asura, yaksa (roh penunggu alam), dan raksasa (monster, setan), merupakan bagian dari mitologi India. Para dewa muncul dalam berbagai kisah-kisah kosmologis dalam agama Hindu.[9][10]

Dalam tradisi Hindu umumnya seperti Adwaita wedanta dan Agama Hindu Dharma, Dewa dipandang sebagai manifestasi Brahman dan enggan dipuja sebagai Tuhan tersendiri dan para dewa setara derajatnya dengan dewa lain. Namun dalam filsafat Hindu Dwaita, para dewa tertentu memiliki sekte tertentu pula yang memujanya sebagai Dewa tertinggi. Dalam hal ini, beberapa sekte memiliki paham monoteisme terhadap Dewa tertentu (lihat: Waisnawa).

Kata “dewa” (deva) berasal dari kata “div” yang berarti “bersinar”. Dalam bahasa Latin “deus” berarti “dewa” dan “divus” berarti bersifat ketuhanan. Dalam bahasa Inggris istilah Dewa sama dengan “deity”, dalam bahasa Prancis “dieu” dan dalam bahasa Italia “dio”. Dalam bahasa Lithuania, kata yang sama dengan “deva” adalah “dievas”, bahasa Latvia: “dievs”, Prussia: “deiwas”. Kata-kata tersebut dianggap memiliki makna sama. “Devi” (atau Dewi) adalah sebutan untuk Dewa berjenis kelamin wanita. Para Dewa (jamak) disebut dengan istilah “Devatā” (dewata).

Dalam kitab suci Regweda, Weda yang pertama, disebutkan adanya 33 Dewa, yang mana ketiga puluh tiga Dewa tersebut merupakan manifestasi dari kemahakuasaan Tuhan Yang Maha Esa. Dewa yang banyak disebut adalah Indra, Agni, Baruna dan Soma. Baruna, adalah Dewa yang juga seorang Asura. Menurut ajaran agama Hindu, Para Dewa (misalnya Baruna, Agni, Bayu) mengatur unsur-unsur alam seperti air, api, angin, dan sebagainya. Mereka menyatakan dirinya di bawah derajat Tuhan yang agung. Mereka tidak sama dan tidak sederajat dengan Tuhan Yang Maha Esa, melainkan manifestasi Tuhan (Brahman) itu sendiri.

Dalam kitab-kitab Weda dinyatakan bahwa para Dewa tidak dapat bergerak bebas tanpa kehendak Tuhan. Para Dewa juga tidak dapat menganugerahkan sesuatu tanpa kehendak Tuhan. Para Dewa, sama seperti makhluk hidup yang lainnya, bergantung kepada kehendak Tuhan. Dalam kitab suci Bhagawadgita diterangkan bahwa hanya memuja Dewa saja bukanlah perilaku penyembah yang baik, hendaknya penyembah para Dewa tidak melupakan Tuhan yang menganugerahi berkah sesungguhnya. Para Dewa hanyalah perantara Tuhan. Tuhan Yang Maha Esa melalui perantara Kresna bersabda:

sa tayā śraddhayā yuktas, tasyārādhanam īhate, labhate ca tatah kaman, mayaiva vihitān hi tān.

— Bhagawadgita (7:22)

Setelah diberi kepercayaan tersebut, mereka berusaha menyembah Dewa tertentu dan memperoleh apa yang diinginkannya. Namun sesungguhnya hanya Aku sendiri yang menganugerahkan berkat-berkat tersebut.

Dalam Hinduisme, dewa dan dewi bukanlah Tuhan tersendiri yang menyaingi Brahman. Dalam Hinduisme ada banyak kepribadian, atau perwujudan, yang dipuja sebagai Dewa atau Murti. Hinduisme menyatakan bahwa mereka adalah aspek dari Brahman yang mulia; Awatara dari makhluk tertinggi (Bhagawan); atau dianggap makhluk yang berkuasa yang dikenal sebagai Dewa. Pemujaan terhadap setiap Dewa bervariasi di antara tradisi dan filsafat Hindu yang berbeda. Seringkali makhluk tersebut digambarkan berwujud manusia, atau setengah manusia, dengan ikonografi yang unik dan lengkap dalam setiap kasus.

Bhagawan adalah istilah yang dipakai untuk merujuk kepada aspek dari kepribadian Tuhan, bukan untuk dewa-dewi tertentu. Bhagawan tak memiliki jenis kelamin tertentu, bisa dipandang sebagai ayah atau ibu. Kebanyakan umat Hindu, dalam praktik pemujaan sehari-hari, memuja beberapa wujud dari aspek Tuhan tersebut, meskipun mereka percaya terhadap banyak konsep Brahman yang abstrak. Hal ini memungkinkan memuja Tuhan dengan perantara simbol atau gambar, atau membayangkan Tuhan sebagai wujud tertentu.

Terdapat berbagai nama serta gambar dan simbol-simbol yang berbeda, tergantung aspek yang mana yang dipuja. Sebagai contoh, ketika Tuhan bergelar sebagai pencipta, ia disebut Brahma oleh umat Hindu. Ketika Tuhan bergelar sebagai pemelihara, umat Hindu menyebutnya Wisnu. Ketika Tuhan bergelar sebagai pemusnah dunia, ia disebut Siwa.

Beberapa aspek individual dari Tuhan tersebut juga memiliki nama dan gambaran yang berbeda. Sebagai contoh, Kresna dan Rama dianggap sebagai penjelmaan Wisnu. Berbagai Dewa dan gambarannya yang ditemukan dalam agama Hindu dianggap merupakan manifestasi dari satu Tuhan, yang disebut Bhagawan dalam aspek kepribadian dan disebut Brahman ketika dianggap sebagai konsep abstrak.

Dalam agama Hindu, Trimurti (atau Tritunggal Hindu) adalah tiga aspek Tuhan dalam wujudnya sebagai Brahma, Wisnu, dan Siwa.

Agama Hindu menyebut adanya banyak dewa individual. Berbagai dewa dan dewi adalah personifikasi dari aspek Tuhan yang esa dan sama (Iswara). Sebagai contoh, ketika umat Hindu membayangkan Iswara sebagai pemberi ilmu dan pengetahuan, aspek Iswara tersebut diidentifikasi sebagai Dewi Saraswati. Dewi Laksmi adalah personifikasi Iswara sebagai pemberi kekayaan dan kemakmuran. Tidak berarti bahwa Iswara adalah penguasa segala dewa-dewi. Iswara hanyalah nama yang digunakan untuk merujuk kepada kepribadian Tuhan secara umum, dan tidak merujuk kepada dewa-dewi tertentu.

Beberapa perkumpulan sekte agama Hindu, seperti Waisnawa dan Smartisme, memberi pelajaran bahwa Tuhan turun ke bumi dalam wujud manusia atau makhluk tertentu untuk membantu mereka menemukan pencerahan dan kebebasan (moksa). Inkarnasi dari Tuhan disebut Awatara. Hindu mengajarkan bahwa ada banyak awatara sepanjang sejarah dan terus bertambah. Maka Kresna, yang tidak hanya dianggap sebagai salah satu inkarnasi namun sumber segala inkarnasi, mengatakan:

Kapan pun dan dimana pun pelaksaan dharma merosot dan hal-hal yang bertentangan dengan dharma merajalela, pada waktu itulah Aku sendiri turun menjelma, wahai keturunan Bharata. Untuk menyelamatkan orang-orang saleh, membinasakan orang-orang jahat dan untuk menegakkan kembali prinsip-prisnsip dharma, Aku sendiri menjelma dari zaman ke zaman.

(Bhagawadgita, 4.7-8)

Penjelmaan Tuhan yang terkenal adalah Rama, yang riwayatnya diceritakan dalam Ramayana, dan Kresna, yang riwayatnya diceritakan dalam Mahabharata serta Srimad Bhagawatam (Bhagawatapurana).